Kamis, 27 Februari 2014

Karawang Rawan Pencemaran Limbah B3


Limbah B3 dari PT. Tochu Silika Indonesia dan CV. Tsanidya Rizky Illahi untuk urug tanah ponpes Hidayatullah di desa benggol.
Kabupaten Karawang dikenal memiliki Kawasan Industri terbesar di Asia Tenggara. Namun demikian, tidak hanya menimbulkan dampak positif bagi pendapatan daerah, melainkan bisa menjadi permasalahan baru khususnya tentang lingkungan hidup di Karawang. Salah satu yang menjadi perhatian adalah Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan limbah B3.

Ditemui saat memberikan pemahaman mengenai limbah B3 di Gedung Singaperbangsa lantai 3 Karawang, Kepala Bidang Pengawasan Pencemaran Lingkungan Hidup, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) Provinsi Jawa Barat, Suharsono memaparkan, pengelolaan B3 dan Limbah B3 memiliki keunikan dan kekhasan dalam pengelolaannya. Hal tersebut disebabkan B3 dan limbah B3 memiliki resiko yang sangat tinggi apabila tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, prinsip kehati- hatian sangat diperlukan, sehingga pengelolaan limbah B3 tidak seluruhnya diserahkan proses perizinannya ke pemerintah daerah.

Dalam undang- undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup telas dijelaskan bagaimana cara dan proses pengelolaan B3 dan limbah B3 yang baik dan benar, didalamnya juga dijelaskan secara rinci tempat penyimpanan, insenerator, bioremediasi, pemanfaatan limbah selanjutnya perijinan kemudian ada yang dinamakan dengan pengawasan agar system berjalan dengan baik, sesuai dengan hasil yang diinginkan. Dalam pengawasan akan ada temuan- temuan yang dapat dijadikan patokan atau referensi oleh pihak perusahaan yang mendapat ijin, sehingga hasil yang didapat kembali pada keadaan semula, yaitu keadaan dimana persyaratan  teknis dalam perijinan dipenuhi,” paparnya panjang lebar kepada Kabar Gapura.

Dijelaskannya, adapun mekanisme pengelolaan limbah B3 ada beberapa cara dengan kimia, fisik, dan biologi. Proses pengolahan limbah B3 secara kimia atau fisik yang umum adalah stabilisasi atau solidifikasi. Dijelaskan Suharsono, stabilisasi atau solidifikasi adalah proses pengubahan bentuk fisik dan atau sifat kimia dengan menambahkan bahan pengikat atau senyawa pereaksi tertentu untuk memperkecil atau membatasi kelarutan, pergerakan, atau penyebaran daya racun limbah sebelum dibuang. 

Teknologi solidification atau stabilization, kata dia, dapat diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi, lanjut Suharsono, didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. 

Rendahnya tingkat ketaatan industri dalam melakukan pelaporan kurang dari 100 industri se-Jawa Barat mengirimkan laporannya, sehingga berdampak rawan tindak pencemaran, bisa terlihat dari banyaknya laporan dari masyarakat tentang pencemaran lingkungan hidup di Jawa Barat,” ujarnya.

Dikatakanya, dari hal diatas yang menjadi berbahaya ketika terjadi pencemaran semisal ke tanah. Tanah yang terkena limbah zat kimia dalam konsentrasi diatas ambang batas, mungkin tidak sakit meskipun mengandung unsur atau senyawa kimia atau logam berat yang berbahaya. Namun bila tanah tersebut ditanami, maka tanaman tersebut akan mengakumulasi unsur atau senyawa yang berbahaya, sehingga dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan manusia dan hewan yang mengkonsumsi produk tersebut.Pembuangan limbah industri ke badan air sungai dapat menurunkan produktivitas lahan sawah dan kualitas hasil tanaman karena air sungai yang tercemar tersebut digunakan sebagai sumber air pengairan, dari hal tersebut sudah pasti menurunnya hasil gabah,” pungkasnya. (yfs)


Dikutip dari : Koran Kabar Gapura Karawang 

0 komentar:

Posting Komentar